Kegagalan suatu produk itu biasanya disebabkan oleh produk yang bersangkutan tidak bisa memuaskan kebutuhan pasar. Walau demikian, toh produk yang sehat pun bisa mengalami kegagalan. Dalam hal ini, kegagalan itu disebabkan oleh adanya faktor persaingan, bisnis yang bersangkutan telah memasuki tahap kejenuhan, atau karena situasi dan lingkungan telah mengalami perubahan besar.
Dua problem
Melalui penerapan strategi manajemen yang tepat, upaya "menyegarkan" kembali produk yang "loyo" bukanlah merupakan hal yang mustahil. Sudah barang tentu, upaya ini harus dimulai dengan langkah penganalisisan problem secara cermat. Pada dasarnya, problem yang dihadapi oleh para pemasar itu dibagi dalam dua golongan besar, yaitu problem yang berkaitan dengan produk dan problem yang berkaitan dengan pasar.
Kita mulai dengan problem yang berkaitan dengan produk terlebih dahulu. Problem ini meliputi beberapa faktor, antara lain :
1. Kejenuhan dalam penggunaan.
Bila terjadi kelambanan dalam pertumbuhan atau kemerosotan profit, hal pertama yang perlu kita teliti adalah produk kita sendiri. Ini, misalnya bisa terjadi bila produk mulai memasuki tahap decline dalam product life cycle (daur hidup produk).
Strategi yang dapat kita pergunakan untuk mengatasinya adalah dengan memperluas cakrawala produk, yaitu memperluas fungsi produk di samping fungsi yang telah dikenal. Proses ini membutuhkan dua tindakan pertimbangan penting:
Berkonsentrasi pada fungsi tertentu produk yang bisa memuaskan kebutuhan pasar.
Menganggap produk sebagai suatu komponen dalam sebuah sistem.
Di samping itu dapat digunakan pula strategi lain, yaitu berusaha pula menemukan cara penggunaan/aplikasi baru untuk produk yang bersangkutan.
Cara ini biasanya membutuhkan dua tahapan:
Mengidentifikasikan kebutuhan fungsional (functional needs) baru yang bisa dipenuhi oleh produk di samping kebutuhan fungsional yang dirancang semula.
Mencari keinginan nonfungsional (nonfunctional wants) yang bisa dikaitkan dengan produk. Motivasi untuk functional needs itu sifatnya mengacu pada segi kepraktisan, sedangkan motivasi untuk nonfuctional wants itu mengacu pada segi sosio psikologis (status, karakteristik kepribadian, rasa memiliki, perasaan senang/puas). Para ahli menyatakan bahwa functional needs suatu pasar itu dapat menerbitkan penggunaan baru dari produk yang bersangkutan dan bisa memungkinkan terbukanya peluang lain untuk meraih keberhasilan. Oleh karena itu, seseorang bisa mengantisipasi kejenuhan produk dengan mencari situasi baru lewat: waktu, sistem distribusi, atau positioning. Strategi ini adalah strategi mencari functional wants baru yang diharapkan bisa memuaskan pasar. Dengan demikian, produk menjadi remaja segar kembali.
2. Positioning yang keliru.
Suatu produk bermutu tinggi bila diposisikan secara keliru dapat mengalami kegagalan. Cara paling tepat untuk memperbaikinya adalah dengan melakukan repositioning.
Strategi repositioning dapat menimbulkan pergeseran/perubahan menuju suatu penggunaan atau pasar baru. Hal ini mengandung pengertian bahwa perusahaan dan konsumen perlu memandang produk dalam cara lain yang berbeda. Dengan cara demikian, produk yang bersangkutan memperoleh persepsi yang berbeda dan memiliki serangkaian nonfunctional wants. Terkadang sedikit pergeseran citra atau persepsi penggunaan dapat menghasilkan perubahan besar dalam fungsi produk serta pasar.
3. Nilai end-user yang rendah
Bila kesalahan dalam positioning itu mungkin lebih melibatkan masalah psikologis, problem yang satu ini lebih berorientasi pada masalah fungsional.
Dalam masalah ini, konsumen akhir tak mengenal seluk-beluk manfaat produk, atau paling sedikit, tidak mampu membeli produk tersebut dalam jumlah yang memadai. Oleh karena itu, perusahaan perlu lebih menekankan usaha lewat perantara yang menjual kembali (intermediary), ketimbang memotivasi konsumen untuk membeli produk lewat upaya periklanan, promosi, dan perbaikan sistem distribusi.
Perusahaan melakukan strategi push terhadap pihak intermediary yang memiliki posisi yang lebih menguntungkan. Dengan demikian, mereka ini memiliki kekuatan pull yang lebih kuat terhadap end user.
Kini kita beralih pada problem kedua, yaitu problem yang berkaitan dengan pasar. Problem ini antara lain meliputi:
1. Perubahan kebutuhan pasar
Problem merosotnya pertumbuhan atau keuntungan tidak hanya bisa terjadi pada suatu merek produk, tetapi bisa juga melanda industri produk yang bersangkutan secara keseluruhan. Sesuai dengan berjalannya waktu, banyak perubahan dinamis yang terjadi. Keputusan positioning yang tepat di masa lalu ternyata bisa tidak sesuai lagi di masa sekarang. Kebutuhan pasar sekarang ini berbeda dengan kebutuhan beberapa tahun yang lalu.
Strategi untuk menghadapi hal ini adalah dengan melakukan repositioning secara tepat. Atau, dengan cara melakukan perubahan besar. Bila upaya memilih citra atau pasar baru ini mengalami kegagalan, masih bisa diupayakan cara penggunaan baru terhadap produk secara tepat.
2. Pasar yang jenuh
Sebagaimana halnya dengan produk, industri dan pasar itu juga memiliki daur hidup. Bila pasar telah sampai pada tahap jenuh, situasi akan berubah menjadi lebih kompetitif. Salah satu strategi untuk mengatasinya adalah dengan memasuki segmen yang berbeda untuk kategori produk yang berbeda pula. Sudah barang tentu, hal ini harus dilakukan sebelum produk menunjukkan tanda-tanda "loyo".
Strategi lainnya dapat berupa upaya mempertahankan loyalitas dari para heavy user. Atau, mengusahakan konsumen untuk mengalihkan loyalitasnya pada produk Anda. Sebagai pengusaha, Anda tak perlu menunda upaya ini sampai terlihat tanda-tanda terjadinya kesulitan.
3. Kelesuan pasar
Problem ini merupakan problem yang memiliki pengaruh paling hebat di seantero dunia. Pasar tampak payah meskipun produknya memiliki kualitas baik karena konsumen tidak memiliki motivasi untuk membeli. Masalahnya bukanlah kekurangan dana/uang, tetapi tidak adanya motivasi. Cara mengatasinya dengan melakukan penjualan lewat pihak intermediary.
Terlepas dari polemik "diciptakan" atau "dicari", faktor kesempatan memang tergolong langka. Kesempatan mencari kerja kini begitu ketat. Kesempatan promosi juga bukan anugerah Tuhan, namun harus disertai ketekunan dan kemauan meningkatkan diri. Beberapa orang menyebutnya sebagai ambisi. Beberapa orang keliru menafsirkan ambisi dengan memperbudak diri sendiri. Beberapa orang mengatakan saya bahagia di kantor, tapi tidak bahagia di rumah. Saya setia di kantor, tapi tidak setia di rumah. Untuk menjawab pengutaraan-pengutaraan diri seperti di atas hanya ada satu orang yang tahu yakni Anda sendiri. Kebahagiaan ada di dalam diri Anda sendiri. Anda baru saja membahagiakan orang lain kalau Anda dulu sudah bahagia. Kalau Anda bekerja dan sekarang merasa menjadi budak, Anda pasti tidak bahagia. Berwiraswasta atau bekerja makan gaji ada seninya sendiri-sendiri, ada risikonya masing-masing, ada pahit getir dan kepuasannya sendiri. Asalan Anda tidak merasa dan mengasosiasikan "makan gaji" sama dengan menjadi "budak". Memang setia tidak berarti menjadi budak, Anda kan punya hak untuk bicara.
Anda harus setia.
Seorang supervisor adalah seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus meneladani dengan kesetiannya untuk menuntut para bawahannya agar setia. Untuk bisa setia diperlukan beberapa persyaratan kualitatif.
· Memberi semangat pada bawahan, bukan Anda yang mengeluh kepada dia.
Beremosi stabil, dapat dipercaya, dapat jadi tempat bertanya.
Memengaruhi rekan-rekan melalui sifat menyenangkan, riang, jujur, sabar, dan penuh semangat.
· Berani bertanggung jawab dan tidak pandai melempar tanggung jawab atau menyalahkan/menjelekkan orang lain.
· Menekan biaya atau ongkos.
· Pandai berkomunikasi lisan dan tertulis.
· Berani menghadapi masalah dan kreatif dalam memecahkannya.
· Bersedia mambagi pengetahuan dan pengalaman kepada para bawahannya, termasuk mendelegasikan pekerjaan.
· Berani menegur, tapi juga pintar memuji yang bukan basa-basi.
· Menjaga keberhasilan lingkungan kerjanya, termasuk inventaris yang dipercayakan kepadanya.
Di antaranya adalah terjaminnya kualitas barang, janji yang tepat, pesanan yang sesuai dengan order, dan pelayanan yang baik.
Dalam bisnis sudah sepantasnya kalau mereka yang terlibat di dalamnya mulai memikirkan hubungan yang bersifat jangka panjang. Oleh karena itu, tingkah laku orang-orang bisnis sesuai dengan norma dan etika yang akan mendukung kelestarian kepercayaan.
Bisnis memang seringkali menimbulkan konflik kepentingan. Etika bisnis bertujuan untuk menghindarkan konflik kepentingan pribadi dan perusahaan. Oleh karena itu, batas-batas kepentingan itu harus jelas.
Sebaiknya dalam sebuah perusahaan ada rule of the game, yaitu suatu aturan permainan yang harus dipatuhi olah setiap karyawan. Sebagai contoh, karyawan bagian pembelian tidak dibenarkan membeli suatu barang yang memberi peluang untuk memberikan keuntungan pribadi. Atau, bagian penjualan tidak diizinkan memberikan potongan harga yang tidak adil.
sumber
http://stieonline.blogspot.com/2007/11/solusi-marketing-mengapa-produk-anda.html